Jakarta, (ANTARA) - Limbah batang pohon sawit merupakan
salah satu sumber bahan baku alternatif yang memiliki potensi besar untuk
dimanfaatkon industri kayu yang saat ini mengalami defisit pasokan bahan baku.
Badan litbang Kehutanan telah mampu menghasilkan paket teknologi aplikasi
modifikasi mesin JRP2, yang mampu mengolah kayu sawit untuk keperluan bahan
baku kayu pertukangan dan konstruksi dengan kualitas setara dengan kayu
komersial lainnya seperti rneranti, keruing dan kamper. Kayu sawit yang dimodifjikasi
dengan mesin JRP2 mempunyai sifat penggunaan lebih baik darl pada produk. Kayu
rakitan, seperti papan partikel (particle board), dan papan bIok (block board),
walaupun kualitas dari kedua produk rakitan ini masih dipengaruhi oleh kualitas
perekat yang digunakan.
Penggunaan kayu sawit secara langsung masih menghadapi berbagai kendala yaitu karena sifat dasar /kualitas kayu sawit yang masih rendah dibandingkan dengan kayu biasa atau kayu kelapa, Hal ini menyebabkan masyarakat tidak menggunakannya sebagai kayu pertukangan dan kayu konstruksi. Padahal tiap tiap tahun limbah kayu sawit ini mencapaj 23 juta m3 tersebar di beberapa tempat dan dibiarkan musnah percuma (Balfas, 1999).
Secara nasional, pengembangan sawit di Indonesia sampai tahun 2004 telah mencapai areal seluas 5,6 juta ha. Keperluan peremajaan sawit mulai tahun 2006-2010 diperkirakan 200.000 ha (Dirjen Bina Produksi Perkebunan), 1005). Limbah batang pohon sawit yang dihasilkan dari peremajaan dapat menimbulkan permasalahan bagi petani, karena limbah yang dibiarkan merupakan sarang hama dan penyakit yang menimbulkan gangguan bagi tanaman muda. Di sisi lain, praktek pemusnahan limbah batang pohon sawit yang murah dan mudah melalui pembakaran sudah tidak dapat dilakukan sejak diberlakukannya larangan baker pada tahun 1997.
Proses pengolahan batang sawit diawali dengan penggergajian dengan memperhatikan porsi bagian keras dan lunak, agar diperoleh kayu gergajian sawit secara optimal. Mengingat adanya dua bagian kayu sawit yang sifatnya bertolak belakang, maka dalam menentukan pola penggergajian harus diperhatikan. Pola terbaik yang akan menghasilkan sortimen optimal adalah pola berguling dimana bagian keras diperuntukkan sebagai bahan structural (kusen, rangka pintu, frooring dll), sedangkan bagian lunak untuk penggunaan non structural. Rendemen hasil penggergajian pada uji coba ini diperoleh sebesar 65 persen
Selanjutnya untuk penyempurnaan sifat atau modifikasi dimulai dengan pengawetan untuk mencegah serangan organisme perusak kayu, terutama pada bagian lunak, karena kayu sawit digemari berbagai organisme seperti aneka jenis serangga dan jamur akibat kandungan pati dan bahan penarik lainnya.. Setelah diawetkan, bagian keras !angsung dimasukkan ke ruang pengering (KD) sampai mencapai kadar air 20% dan seianjutnya diresin. Besarnya absorbsi bahan pengawet dan resin akan berpengaruh terhadap biaya.. Hasil uji coba menunjukkan bahan pengawet yang diperlukan sebesar 20 kg/m3 kayu sawit dengan konsentrasi 30% (W/V).
Untuk proses densifikasi bagian keras dan lunak berbeda perlakuannya. Bagian keras diresin dengan absorbsi 40 kg/m3 kayu sawit, sedangkan bagian lunak dikempa setelah kayu dipanaskan. Tingkat kornpresi adalah 20-50% tergantung ketebalan sortimen awal. Setelah bagian keras kayu sawit diresin dan bagian lunak dikempa kayu dimasukkan ke ruang pengering untuk mencapai kadar air 10-12% sehingga kayu siap dibuat produk komersial
Pengusahaan produk kayu sawit memiliki sensfitas yang tinggi terhadap berbagai parameter produksi dan pasar. Hal ini antara lain diindikasikan oleh nilai profit kayu gergajian sebesar 127% dengan profitabilitas sebesar 79%. Pengembangan industri ini akan menjadikan Indonesia menjadi pioneer pengembangan industri kayu sawit dan sekaligus sabagai penyelamat lingkungan sawit. Selain itu mampu menumbuhkan industri mesin dan bahan pembantu industri, yang pada akhirnya akan merupakan sumber penyediaan lapangan kerja dan sumber devisa negara.
Menteri Kehutanan H.MS. Kaban akan meninjau lokasi uji coba produksi kayu sawit densifikasi Badan Litbang Kehutanan dl PT. Inhutani I Unit Industri Bekasi, pada hari Selasa 11 April 2006. Dalam peninjauan tersebut akan disampaikan presentasi oleh peneliti Ir. Jamal Balfas M.Sc.
Penggunaan kayu sawit secara langsung masih menghadapi berbagai kendala yaitu karena sifat dasar /kualitas kayu sawit yang masih rendah dibandingkan dengan kayu biasa atau kayu kelapa, Hal ini menyebabkan masyarakat tidak menggunakannya sebagai kayu pertukangan dan kayu konstruksi. Padahal tiap tiap tahun limbah kayu sawit ini mencapaj 23 juta m3 tersebar di beberapa tempat dan dibiarkan musnah percuma (Balfas, 1999).
Secara nasional, pengembangan sawit di Indonesia sampai tahun 2004 telah mencapai areal seluas 5,6 juta ha. Keperluan peremajaan sawit mulai tahun 2006-2010 diperkirakan 200.000 ha (Dirjen Bina Produksi Perkebunan), 1005). Limbah batang pohon sawit yang dihasilkan dari peremajaan dapat menimbulkan permasalahan bagi petani, karena limbah yang dibiarkan merupakan sarang hama dan penyakit yang menimbulkan gangguan bagi tanaman muda. Di sisi lain, praktek pemusnahan limbah batang pohon sawit yang murah dan mudah melalui pembakaran sudah tidak dapat dilakukan sejak diberlakukannya larangan baker pada tahun 1997.
Proses pengolahan batang sawit diawali dengan penggergajian dengan memperhatikan porsi bagian keras dan lunak, agar diperoleh kayu gergajian sawit secara optimal. Mengingat adanya dua bagian kayu sawit yang sifatnya bertolak belakang, maka dalam menentukan pola penggergajian harus diperhatikan. Pola terbaik yang akan menghasilkan sortimen optimal adalah pola berguling dimana bagian keras diperuntukkan sebagai bahan structural (kusen, rangka pintu, frooring dll), sedangkan bagian lunak untuk penggunaan non structural. Rendemen hasil penggergajian pada uji coba ini diperoleh sebesar 65 persen
Selanjutnya untuk penyempurnaan sifat atau modifikasi dimulai dengan pengawetan untuk mencegah serangan organisme perusak kayu, terutama pada bagian lunak, karena kayu sawit digemari berbagai organisme seperti aneka jenis serangga dan jamur akibat kandungan pati dan bahan penarik lainnya.. Setelah diawetkan, bagian keras !angsung dimasukkan ke ruang pengering (KD) sampai mencapai kadar air 20% dan seianjutnya diresin. Besarnya absorbsi bahan pengawet dan resin akan berpengaruh terhadap biaya.. Hasil uji coba menunjukkan bahan pengawet yang diperlukan sebesar 20 kg/m3 kayu sawit dengan konsentrasi 30% (W/V).
Untuk proses densifikasi bagian keras dan lunak berbeda perlakuannya. Bagian keras diresin dengan absorbsi 40 kg/m3 kayu sawit, sedangkan bagian lunak dikempa setelah kayu dipanaskan. Tingkat kornpresi adalah 20-50% tergantung ketebalan sortimen awal. Setelah bagian keras kayu sawit diresin dan bagian lunak dikempa kayu dimasukkan ke ruang pengering untuk mencapai kadar air 10-12% sehingga kayu siap dibuat produk komersial
Pengusahaan produk kayu sawit memiliki sensfitas yang tinggi terhadap berbagai parameter produksi dan pasar. Hal ini antara lain diindikasikan oleh nilai profit kayu gergajian sebesar 127% dengan profitabilitas sebesar 79%. Pengembangan industri ini akan menjadikan Indonesia menjadi pioneer pengembangan industri kayu sawit dan sekaligus sabagai penyelamat lingkungan sawit. Selain itu mampu menumbuhkan industri mesin dan bahan pembantu industri, yang pada akhirnya akan merupakan sumber penyediaan lapangan kerja dan sumber devisa negara.
Menteri Kehutanan H.MS. Kaban akan meninjau lokasi uji coba produksi kayu sawit densifikasi Badan Litbang Kehutanan dl PT. Inhutani I Unit Industri Bekasi, pada hari Selasa 11 April 2006. Dalam peninjauan tersebut akan disampaikan presentasi oleh peneliti Ir. Jamal Balfas M.Sc.
Sumber : http://www.antaranews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar