Kamis, 10 Juli 2014

Material Prefabrikasi Solusi "Backlog" Rumah

Seluruh pembicara dalam acara seminar yang diadakan di Politeknik Negeri Bandung (Polban) berpose bersama. Dari kiri ke kanan, Dosen Teknik Sipil Politeknik Negeri Bandung Asep Sundara, Direktur Kemahasiswaan Politeknik Negeri Bandung Bambang Wisnuadhi, perwakilan dari Indocement Reesha Danang, Ir. Hadjar Seti Adji M.Eng. Sc. dari PT PP, mitra binaan Indocement, Kuswaya, serta Dr. Ir. Arief Sabbarudin, CES dari Puslitbang PU.
BANDUNG, KOMPAS.com - Jumlah kekurangan pasokan rumah atau backlog sebenarnya bisa diatasi dengan mengimplementasikan teknologi pre-fabricated house. Teknologi ini bisa menjadi jawaban untuk mengentaskan kekurangan rumah. Selain lebih cepat, rumah jenis ini pun lebih murah.

Dr. Ir.  Arief Sabbarudin, CES dari Puslitbang PU menyampaikan gagasannya tersebut dalam acara seminar "roadshow" kompetisi karya tulis, arsitektur dan konstruksi Indocement Awards 2014, di Politeknik Negeri Bandung, Sabtu (14/6/2014).

Arief menjelaskan pada Kompas.com bahwa teknologi semacam ini sudah mulai diterapkan oleh Joko Widodo di Jakarta untuk membangun kampung deret. Menurutnya, jika dibandingkan dengan teknologi pembangunan rumah konvensional, cara baru ini lebih efektif. Sayangnya, Arief enggan menjabarkan sejauh mana sistem konvensional tertinggal jauh oleh sistem baru ini.
Arief hanya meyakinkan, bahwa pre-fabricated house sangat cocok untuk membangun rumah di daerah kumuh. Daerah-daerah kumuh yang  umumnya sempit membuat penempatan material lebih sulit. Selain itu, pengerjaannya pun cukup lama.
"Kalau kita pakai (cara) konvensional, itu material ditempatkan di mana? Dengan precast dia tinggal bangun saja. Bahkan, dengan pre-fabricated lebih cocok dan lebih rapi. Hasilnya lebih bagus, lebih cepat. Kalau yang konvensional tiga bulan, paling cepat dua setengah bulan. Kalau dengan ini, tiga hari selesai," imbuhnya.
Soal biaya pun lebih murah. Menurut Arief, penggunaan metode ini membuat harga rumah bisa lebih murah antara 30 sampai 40 persen.
"Artinya kita harus pisah ya, ada biaya produksi ada harga jual. Nah, kalau biaya produksi yang RHISA (nama metode pre-fabricated house yang diperkenalkan Arief beserta timnya) ini kalau UKM-nya baru mulai, dia pasti dengan harga konvensional, seimbang karena ada investasi di awal. Jika investasi cetakan terlampaui biayanya, dia akan lebih turun 30-40 persen. Jauh lebih murah setelah jadi. Investasi besar hanya pada cetakan. Jadi margin-nya hampir sama dengan konvensional," pungkasnya.
Sebelumnya, dalam kesempatan yang berbeda, Mantan Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Teguh Satria mengungkapkan bahwa jumlah kekurangan rumah di Indonesia mencapai 15 juta unit. Setiap tahun, jumlah ini meningkat hingga 800.000 unit.
"Backlog, angka resmi BPS 13,6 juta unit. Kita perkirakan akhir 2013 hampir 15 juta. Kebutuhan tiap tahun tidak bisa dipenuhi. Selama ini yang kita ikuti, belum ada satu pejabat yang menjamin kapan seluruh rakyat bisa menempati rumah murah," ujar Teguh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar